Setiap bulan Ramadhan gini entah kenapa gue jadi selalu flashback kesalahan-kesalahan gue di masa lalu. Ada yang gue menjudge orang didepan mukanya, gue bohong sekali tapi mungkin tertancap di pikiran orang lain atau amarah yang dulu-dulu pernah terlontar dan lain-lain. Penyesalan. Satu kata ini selalu ada dipundak gue. Gue ini orang yang rumit, mudah memaafkan orang lain tapi tidak dengan memaafkan diri sendiri. Bahkan, persepsi gue sendiri bilang kalo gue ini anak yang kurang normal. Seriously, sometimes I upset for no reason. Tapi, dalam persepsi gue bilang kalo mereka yang membuat gue marah itu salah. Kenapa sekarang gue sulit memaafkan diri sendiri? Karena mungkin banyak hati yang terluka karena gue.
Penyesalan yang gue lakukan adalah, karena gue mengingat bagaimana wajah pemeran protagonis (iya, gue antagonisnya) mendengarkan mulut sialan gue ini. Hati gue tergores (lebay tapi serius). Mengatakan hal yang tidak patut didengar orang lain, kenapa ga saat itu aja gue merasa menyesal? Jawabannya karena penyesalan selalu datang terlambat. Dan menjadi tulisan gue dimasa ini.
Penyesalan yang gue pikirkan adalah, patutkah manusia menyesal atas kesalahan yang telah diperbuat? Yang gue baca dari google dengan kata kunci "bolehkah kita menyesali kesalahan dalam islam" ada yang bilang penyesalan adalah salah satu syarat "Tobat" atau ada yang bilang:
"Tatkala terdetik rasa bersalah dan menyesal dalam diri yang telah melakukan dosa, di sana Allah sedang memandangmu dengan penuh kasihan belas dan kasih sayang."
Aamiin
Daritadi gue selalu bilang "gue" karena itulah "gue". Yang diselimuti rasa bersalah yang tadinya setipis kain, jadi setebal abu vulkanis gunung Merapi. Mungkin sejak bulan Ramadhan 2014. Bukan hanya harena 1 kesalahan tapi segunung. Tapi lagi lagi gue menggooglekan ini "bagaimana cara menghilangkan rasa penyesalan" banyak artikel yang membuat "3 cara mengobati..." "6 cara mengatasi..." Tapi jawaban paling memuaskan adalah ini:
Al-Quran ayat 53 hingga ayat 54 Surah al-Zumar,
قُلْ يٰعِبَادِىَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِؕ اِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًاؕ اِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Katakanlah (wahai Muhammad): Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (dengan perbuatan-perbuatan maksiat), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampunkan segala dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. (Ayat 53)
وَاَنِيْبُوْۤا اِلٰى رَبِّكُمْ وَاَسْلِمُوْا لَهٗ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّاْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُوْنَ
Dan kembalilah kamu kepada Tuhan kamu dengan bertaubat, serta berserah sepenuh hati kepadaNya, sebelum kamu didatangi azab; kerana sesudah itu kamu tidak akan diberikan pertolongan lagi. (Ayat 54)
An-Nawawi rahimahullah, dalam Riyadhus Shalihin min Kalami Sayyidil Mursalin —sebuah karya monumental yang bisa dikatakan dikenal oleh setiap muslim semasa dan setelah masa beliau—memaparkan syarat-syarat tobat. Pada “Bab Tobat” beliau rahimahullah mengatakan, “Para ulama mengatakan bahwa tobat wajib dilakukan atas dosa apa pun. Jika kemaksiatan tersebut terjadi dalam hubungan seorang hamba dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak terkait dengan hak sesama manusia, tobat harus memenuhi tiga syarat: Dia mencabut diri dari kemaksiatan tersebut. Dia merasa menyesal atas kemaksiatan yang telah diperbuatnya. Dia berkeinginan keras untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut selama-lamanya. Masalahnya, gue juga termasuk orang yang imannya masih tebal tipis kayak tulisan sambung anak SD. Maka yang gue lakukan sekarang adalah berusaha sekuat tenaga menjaga lisan dan perbuatan gue agar tidak menyakiti orang lain. Tapi gue belum bisa berjanji kepada Allah untuk tidak menyakiti hati orang lain lagi. Karena gue bukan orang yang selalu menyenangkan semua orang, masih banyak kekurangan dalam diri gue dan ga ada sedikitpun yang patut dikatakan teladan.